2013/03/28

Ketaatan Untuk Menderita


Ketaatan Untuk Menderita

(Yesaya 50: 4-9, Mazmur 118: 1-2; 9-29, Filipi 2: 5-11, Lukas 19: 28-40)
Bagaimana kita dapat melihat ketaatan Tuhan Yesus itu dalam perjalananNya masuk ke Yerusalem?
Aku mencoba mencari jawabannya melalui penelusuranku menembus waktu. Perjumpaanku dengan DIA memberikan sebuah kenangan dan perenungan yang mendalam tentang apa arti ketaatan. Banyak orang masa kini yang melihat peristiwa penderitaan Tuhan Yesus bukan karena ketaatanNya melainkan karena “jasa” muridnya yang bernama Yudas. Menurutku jelas tidak seperti itu, karena ketatan itu sudah dinubuatkan para nabi. Pengalaman penjelajahanku memasuki masa pembuangan Israel, jelas menunjukkan hal itu. Bukankah itu yang dicatat oleh nabi Yesaya dalam berbagai bagiannya? “Tuhan ALLAH telah memberikan kepadaku lidah seorang murid……. Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid…. membuka telingaku, dan aku tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang. Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku, dan pipiku kepada orang-orang yang mencabut janggutku. Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan diludahi.” (Yes. 50:4-6).
Dalam pengalaman penjelajahanku yang lain, aku terkejut ketika mendengar banyak orang berteriak "Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di sorga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi!" (Luk. 19:38). Ternyata saat itu Tuhan Yesus sedang masuk ke Yerusalem. Oh ya, Lukas mencatat peristiwa ini dengan penekanan kata-kata yang sarat dengan makna. Kata "naik" (baik naik keledai maupun naik ke Yerusalem) tentu terkait erat dengan peribadatan. Keledai yang belum pernah ditunggangi, menunjuk pada hewan kurban yang dikhususkan. Oleh karena itu jika Tuhan Yesus naik keledai dan berjalan naik ke Yusalem, itu  berarti bahwa IA akan melakukan ritual persembahan kurban. Siapa yang dikurbankan? DiriNya sedirilah yang akan dikurbankan.
Dari perjumpaan inilah aku melihat, disinilah ketaatan itu dinampakan. Saat tahu bahwa penderitaan dan kematian sudah dekat bukannya IA menghindar, melainkan menyongsongnya karena memang itulah jalan yang ditetapkan oleh sang Bapa untuk keselamatan manusia. Ketaatan sampai akhir ini juga yang dicatat dengan baik oleh Paulus. Paulus menulis, “..tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, .. mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, .. Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Fil. 2:6-8)
Mari kita belajar taat sampai mati. Sampai berjumpa dengan pengalaman penjelajahan yang lain. Selamat berjuang. Tuhan memberkati. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar